Hukum bermakmum kepada orang Fasiq
Para ulama’ berbeda pendapat tentang masalah seorang fasik yang menjadi imam atau hukum shalat bermakmum pada seorang yang fasik, sebagaimana dalam keterangan berikut:
Tidak boleh
اِخْتَلَفُوْا فِي إِمَامَةِ الْفاَسِقِ فَرَدَّهَا قَوْمٌ بِإِطْلاَقٍ
Para ulama’ berbeda pendapat tentang masalah seorang fasik yang menjadi imam, sebagian ulama’ mutlak menolak
(Bidayah al-Mujtahid, hal. 105)
Mutlak boleh
اِخْتَلَفُوْا فِي إِمَامَةِ الْفاَسِقِ فَرَدَّهَا قَوْمٌ بِإِطْلاَقٍ وَأَجَازَهَا قَوْمٌ بِإِطْلاَقٍ
Para ulama’ berbeda pendapat tentang masalah seorang fasik yang menjadi imam, sebagian ulama’ mutlak menolak, dan sebagian ulama’ mutlak memperbolehkan. (Bidayah al-Mujtahid, hal. 105)
وَتَجُوْزُ الصَّلاَةُ خَلْفَ الْفَاسِقِ لِقَوْلِهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوْا خَلْفَ مَنْ قاَلَ لاَ إِلهَ إلاَّ اللهُ وَ عَلَى مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَلِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ صَلَّى خَلْفَ الْحُجَّاجِ مَعَ فَسِقِهِ
Dan diperbolehkan shalat di belakang (bermakmum) kepada orang fasik, hal ini berdasarkan pada perkataan Nabi “shalatlah kalian semua di belakang orang yang mengucapkan lafadz Laa Ilaaha illa Allah dan di depan orang yang mengucapkan lafadz Laa Ilaaha illa Allah” dan karena sesungguhnya Ibnu Umar Ra. mendirikan shalat di belakang orang yang ahli perdebatan dengan kefasikkannya. (al-Muhadzab fii Fiqh al-Imam al-Syafi’i, bab Sifat al-Aimmah)
Ditafsil (diperinci),apabila seorang imam memang benar-benar orang yang fasik, maka makmum harus mengulang shalatnya, dan apabila seorang imam masih sifat fasiknya masih disangka-sangka maka sunnah untuk mengulang shalatnya.
فَقَالُوْا: إِنْ كَانَ فِسْقُهُ مَقْطُوْعًا بِهِ أَعَادَ الصَّلاَةَ الْمُصَلِّي وَرَاءَهُ أَبَدًا وَإِنْ كاَنَ مَظْنُوْناً اُسْتُحِبَّتْ لَهُ اْلإِعاَدَةُ فِي اْلوَقْتِ وَهَذَا الذِّيْ اِخْتاَرَهُ اْلأَبْهَرِيُّ تَأَوُّلاً عَلَى الْمَذْهَبِ
Tetapi sebagian yang lain memperinci antara orang yang benar-benar fasik dan tidak pasti (disangka), apabila seorang imam memang benar-benar fasik, maka makmum harus mengulang shalatnya, dan apabila seorang imam masih masih disangka-sangka sifat fasiknya, maka sunnah untuk mengulang shalatnya.
(Bidayah al-Mujtahid, hal. 105)
Para ulama’ berbeda pendapat tentang masalah seorang fasik yang menjadi imam atau hukum shalat bermakmum pada seorang yang fasik, sebagaimana dalam keterangan berikut:
Tidak boleh
اِخْتَلَفُوْا فِي إِمَامَةِ الْفاَسِقِ فَرَدَّهَا قَوْمٌ بِإِطْلاَقٍ
Para ulama’ berbeda pendapat tentang masalah seorang fasik yang menjadi imam, sebagian ulama’ mutlak menolak
(Bidayah al-Mujtahid, hal. 105)
Mutlak boleh
اِخْتَلَفُوْا فِي إِمَامَةِ الْفاَسِقِ فَرَدَّهَا قَوْمٌ بِإِطْلاَقٍ وَأَجَازَهَا قَوْمٌ بِإِطْلاَقٍ
Para ulama’ berbeda pendapat tentang masalah seorang fasik yang menjadi imam, sebagian ulama’ mutlak menolak, dan sebagian ulama’ mutlak memperbolehkan. (Bidayah al-Mujtahid, hal. 105)
وَتَجُوْزُ الصَّلاَةُ خَلْفَ الْفَاسِقِ لِقَوْلِهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوْا خَلْفَ مَنْ قاَلَ لاَ إِلهَ إلاَّ اللهُ وَ عَلَى مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَلِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ صَلَّى خَلْفَ الْحُجَّاجِ مَعَ فَسِقِهِ
Dan diperbolehkan shalat di belakang (bermakmum) kepada orang fasik, hal ini berdasarkan pada perkataan Nabi “shalatlah kalian semua di belakang orang yang mengucapkan lafadz Laa Ilaaha illa Allah dan di depan orang yang mengucapkan lafadz Laa Ilaaha illa Allah” dan karena sesungguhnya Ibnu Umar Ra. mendirikan shalat di belakang orang yang ahli perdebatan dengan kefasikkannya. (al-Muhadzab fii Fiqh al-Imam al-Syafi’i, bab Sifat al-Aimmah)
Ditafsil (diperinci),apabila seorang imam memang benar-benar orang yang fasik, maka makmum harus mengulang shalatnya, dan apabila seorang imam masih sifat fasiknya masih disangka-sangka maka sunnah untuk mengulang shalatnya.
فَقَالُوْا: إِنْ كَانَ فِسْقُهُ مَقْطُوْعًا بِهِ أَعَادَ الصَّلاَةَ الْمُصَلِّي وَرَاءَهُ أَبَدًا وَإِنْ كاَنَ مَظْنُوْناً اُسْتُحِبَّتْ لَهُ اْلإِعاَدَةُ فِي اْلوَقْتِ وَهَذَا الذِّيْ اِخْتاَرَهُ اْلأَبْهَرِيُّ تَأَوُّلاً عَلَى الْمَذْهَبِ
Tetapi sebagian yang lain memperinci antara orang yang benar-benar fasik dan tidak pasti (disangka), apabila seorang imam memang benar-benar fasik, maka makmum harus mengulang shalatnya, dan apabila seorang imam masih masih disangka-sangka sifat fasiknya, maka sunnah untuk mengulang shalatnya.
(Bidayah al-Mujtahid, hal. 105)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar