Hukum Tidur Sebelum Sholat.....?
Tidur merupakan sebagian aktifitas kemanusiaan alamiah yang tidak bisa dihindari. Meskipun begitu, tidur bukan berarti lepas dari jangkauan hukum syariat islam. Dalam beberapa keadaan tertentu tidur yang asal hukumnya adalah jawaz (boleh untuk dilakukan atau ditinggalkan) bisa menjadi haram. Tentu hal ini sangat erat kaitannya dengan ibadah mahdloh sebagaimana tidurnya orang yang mengabiskan waktu sholat dengan ceroboh ataupun memang disengaja untuk meninggalkan sholat.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika sebagian besar masyarakat islam pernah melakukan qodlo’ sholat sebab tidur. Sering kali orang tidur terlelap hingga menghabiskan waktu sholat sehingga harus melakukan qodlo’. Anehnya lagi, kebiasaan sholat qodlo’ bahkan sudah menjadi kebiasaan atau adat bagi sebagian masyakarat yang sulit untuk bangun. Mungkin ada juga yang sudah berusaha akan bangun seperti memasang alarm, namun tetap saja tidak bangun. Hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi kalangan pesantren untuk merumuskan hukum orang yang tidur hingga melampui batas waktu sholat. Oleh karena itu, tulisan ini akan mencoba mengulas secara sederhana hukum orang yang tidur hingga melampui batas waktu sholat serta konsekuensi hukum yang diterima oleh orang tersebut dari sudut pandang fiqh syafi’i.
Pembahasan
Hukum awal bagi seseorang yang tidur sebelum melakukan sholat adalah makruh. Hal ini berdasarkan penjelasan hadist nabi yang terdapat dalam kompilasi hadist shohih muslim. Bahwa nabi sesungguhnya mengakhirkan sholat ‘isya hingga sepertiga malam dan mememakruhkan tidur sebelum melakukan sholat ‘isya dan ngerumpi setelah sholat isya.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يؤخر العشاء إلى ثلث الليل ويكره النوم قبلها والحديث بعدها
Menanggapi hadist tersebut, sebagaimana dikutip dari kitab Syarah An-nawawi ‘Ala Muslim, para ulama berpendapat bahwa kemakruhan tidur sebelum melakukan sholat disebabkan karena ada kekhawatiran orang tersebut akan bertindak ceroboh sehingga menghilangkan waktu sholat atau waktu-waktu yang dianggap utama sebab waktunya habis untuk tidur. Selain itu, tidurnya orang yang belum sholat juga dapat mengakibatkan tasahul (mempermudah) didalam sholat sehingga ia lebih memilih tidur dan meninggalkan sholat. Dalam hadist tersebut tidur justru dianjurkan setelah melakukan sholat ‘isya. Bahkan tidak tidur setelah sholat ‘isya bisa makruh jika sampai tidak tidur semalaman (begadang) atau sahar. Karena sahar (begadang) dimalam hari menyebabkan malas untuk beraktifitas pada esok harinya. Meskipun begitu, ulama menggaris bawahi kemakruhan ngerumpi (hadast ) setelah sholat ‘isya’ itu khusus yang dibicarakan hal-hal yang bukan membawa kemaslahatan. Jika jika ngerumpi yang sifatnya membawa kemaslahatan hukumnya boleh tidak makruh seperti kegiatan belajar mengajar dan hal-hal positif lainnya.
Referensi
شرح النووي على مسلم - (ج 2 / ص 442
قال العلماء : وسبب كراهة النوم قبلها أنه يعرضها لفوات وقتها باستغراق النوم ، أو لفوات وقتها المختار والأفضل ، ولئلا يتساهل الناس في ذلك فيناموا عن صلاتها جماعة ، وسبب كراهة الحديث بعدها أنه يؤدي إلى السهر ، ويخاف منه غلبة النوم عن قيام الليل ، أو الذكر فيه ، أو عن صلاة الصبح في وقتها الجائز ، أو في وقتها المختار أو الأفضل ، ولأن السهر في الليل سبب للكسل في النهار عما يتوجه من حقوق الدين والطاعات ومصالح الدنيا . قال العلماء : والمكروه من الحديث بعد العشاء هو ما كان في الأمور التي لا مصلحة فيها . أما ما فيه مصلحة وخير فلا كراهة فيه ، وذلك كمدارسة العلم ، وحكايات الصالحين ، ومحادثة الضيف والعروس للتأنيس ، ومحادثة الرجل أهله وأولاده للملاطفة والحاجة ، ومحادثة المسافرين بحفظ متاعهم أو أنفسهم ، والحديث في الإصلاح بين
الناس والشفاعة إليهم في خير ، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، والإرشاد إلى مصلحة ونحو ذلك ، فكل هذا لا كراهة فيه
Ulama syafi’iyyah dalam menafsirkan hadist diatas saling berbeda pendapat (khilaf) mengenai hukum makruh tidur sebelum sholat. Apakah hadist tersebut terkhusukan pada sholat isya’ sebagaimana teks hadist atau juga berlaku dalam sholat sholat lima waktu lainnya. Menurut al Qulyubi dan al Anshori dalam kitab Jamal kemakruhan tidur sebelum sholat juga berlaku untuk sholat-sholat ada’ yang lainnya. Sedangkan menurut as Syarbini dalam kitab Mughnil Muhtaj, kemahruhan tidur sebelum sholat hanya terkhususkan pada sholat ‘isya karena Nabi memakruhan tidur pada waktu itu.
Referensi
حاشيتا قليوبي - وعميرة - (2 / 82
تنبيه ) قد علم أن ما ذكر من كراهة النوم والحديث يجري في سائر الصلوات ، وإنما خصت العشاء بذكرهما لأنها محل النوم أصالة ، وإنما لم يكره الحديث قبل الفعل لأن الوقت باعث على تركه بطلب الفعل فيه
Referensi
مغني المحتاج - (1 / 124
و " يكره " النوم قبلها " أي صلاة العشاء بعد دخول وقتها لأنه صلى الله عليه و سلم كان يكره ذلك متفق عليه
Hukum makruh sebagaimana yang dijelaskan diatas, yaitu tidurnya naim sebelum sholat, menurut syeikh Zainuddin al Malibari dalam kitab Fath al Mu’in tetap dihukumi makruh selama naim memiliki dhon (prasangka) akan bangun sebelum habis masa waktu sholat sehingga masih ada waktu untuk melakukan thoharoh (bersuci) dan sholat. Namun jika naim tidak memiliki dhon untuk bangun, maka hukumnya menjadi haram. Dhon tersebut bisa jadi karena sudah menjadi adat atau kebiasaan naim untuk bangun ataupun ada orang yang akan membangunkan. Konteks ini ketika naim tidur saat memasuki waktu sholat. Namun, jika naim tersebut tidak ada dhon atau ragu apakah dia bisa bangun atau tidak, maka jika ia memaksakan untuk tidur sebelum sholat hukumnya menjadi haram. Dengan demikian, hukum makruh bagi orang yang tidur setelah masuk waktunya sholat hanya terkhusukan pada orang yang memiliki dhon untuk bangun sebelum habis waktu sholat.
Referensi
فتح المعين - (ج 1 / ص 142
فرع) يكره النوم بعد دخول وقت الصلاة وقبل فعلها، حيث ظن الاستيقاظ قبل ضيقه، لعادة أو لايقاظ غيره له، وإلا حرم النوم الذي لم يغلب في الوقت
Lain halnya jika tidurnya naim tersebut sebelum memasuki waktu sholat. Jika naim tidur sebelum waktu sholat meskipun ia tidak ada dhon untuk bangun dan mengabiskan waktu sholat, menurut zakaria al anshori dalam kitab Jamal hukumnya tidak haram. Hal ini disebabkan karena tidurnya naim yang belum memasuki waktu sholat menjadikan ia tidak dikenakan kewajiban sholat tersebut. Ambil saja contoh naim tidur pada waktu sholat ‘isya’ dan tidak bangun hingga habis waktu subuh. Maka hukum tidurnya naim tidak haram maupun makruh.
Referensi
حاشية الجمل - (ج 3 / ص 1
وقوله : فإن نام قبل دخول الوقت لم يحرم إلخ هو شامل للعشاء فلا يكره النوم قبل دخول وقتها وشامل للجمعة أيضا فلا يكره النوم قبله ، وإن خاف فوت الجمعة ؛ لأنه ليس مخاطبا بها قبل دخول الوقت
Bahkan dalam kitab hawasyi syarwani orang yang tidur (naim) sebelum masuk waktunya sholat baginya sama sekali tidak berdosa meskipun ia yakin bahwa tidurnya itu mampu mengahabiskan waktu sholat sehingga ia harus melakukan sholat qodlo’ bahkan sholat jum’at sekalipun. Adapun konsekuensi dari qodlo’ yang disebakan karena tidur sebelum masuk waktu sholat idak wajib fauran atau menyegerakan melakukan sholat qodlo’. Dalam hal ini akan dijelaskan secara khusus konsekuensi yang harus dilakukan oleh naim sebab meninggalkan sholat pada waktunya sehingga harus melakukan sholatb qodlo’.
Referensi
حواشي الشرواني/ج2/ص407
على غير مكلف) أي كصبي ومجنون ومغمى عليه والسكران غير المتعدي أما المتعدي فتجب عليه صلاتها ظهرا وكذلك النائم ثم إن نام قبل دخول الوقت فلا إثم عليه وإن علم أنه يستغرق الوقت ولو جمعة على الصحيح ولا يلزمه القضاء فورا
Pendapat diatas juga didukukung oleh imam As-subki dalam fatwanya yang dikutib oleh al Anshori dalam kitab Asnal Matholib bahwa tidak ada hokum haram bagi orang yang sekalipun ia dlhon akan menghabiskan waktu sholat ketika ia tidur sebelum masuk waktunyanya sholat dan tidak ada dosa sama sekali baginya. Namun putranya (As-subki) Imam Tajuddin berpendapat bahwa dalam masalah ini sebenarya ada beberapa pandangan atau qoul meskipun pandangan yang dikutip oleh As-subki adalah qoul yang mengatakan tidak haram.
Referensi
أسنى المطالب/ج2/ص193
قَوْلُهُ وَقِيَاسُ مَا مَرَّ عَنْ ابْنِ الصَّلَاحِ وَغَيْرِهِ أَنَّ الشَّكَّ كَالظَّنِّ ) أَشَارَ إلَى تَصْحِيحِهِ ( قَوْلُهُ لَا تَصِيرُ فِي بَاقِيهِ قَضَاءً إلَخْ ) مِثْلُهُ مَا لَوْ أَفْسَدَهَا ثُمَّ فَعَلَهَا فِيهِ عَلَى الْأَصَحِّ ( قَوْلُهُ ثُمَّ نَامَ مَعَ ظَنِّهِ فَوْتَهَا إلَخْ ) فَإِنْ ظَنَّ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ أَنَّهُ إنْ نَامَ اسْتَغْرَقَهُ فَلَا يَحْرُمُ كَمَا أَفْتَى بِهِ السُّبْكِيُّ قَالَ وَلَدُهُ تَاجُ الدِّينِ وَفِيهِ نَظَرٌ الْمَنْقُولُ أَنَّهُ لَا يَحْرُم
Masih dari kitab yang sama (Asnal Matholib), sebagaimana yang diungkapkan oleh Tajuddin menganai khilafiah orang yang tidur sebelum waktu sholat dan ia yakin akan mengabiskan waktu sholat, menurut qoul yang dikutib dari Asnawi, hal itu hukumnya adalah haram sebagaimana yang difatwatkan oleh Imam Ibnu Sholah. Karena jika orang yang tidur sebelum waktu sholat dan ia yakin akan menghabiskan waktu sholat dilakukan berkali-kali maka akan menjadi ‘adat atau kebiasaan sehingga sudah diketahui sebelumnya bahwa ia akan tidak sholat. Qoul ibnu sholah atas keharaman hal itu juga diperkuat oleh Imam Al-Bulqini bahwa keharaman tersebut sudah tidak dipermasalahkan lagi karena orang lalai yang ceroboh karena perbuatannya sendiri dan ia menyadari akan kecerobohan itu, jika ia tetap melakukan hal itu (tidur) maka dia tetap berdosa.
Referensi
أسنى المطالب/ج22/ص412
قَوْلُهُ نَقَلَهُ الْإِسْنَوِيُّ ) وَهُوَ شَبِيهٌ بِمَا إذَا نَامَ قَبْلَ الْوَقْتِ وَكَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ إذَا نَامَ قَبْلَ الْوَقْتِ وَكَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ إذَا نَامَ اسْتَغْرَقَ الْوَقْتَ بِالنَّوْمِ وَأَخْرَجَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا وَقَدْ أَفْتَى ابْنُ الصَّلَاحِ بِأَنَّ ذَلِكَ حَرَامٌ وَجْهُ الْمُشَابَهَةِ أَنَّهُ إذَا تَكَرَّرَ ذَلِكَ مِنْهُ صَارَ عَادَةً لَهُ وَقَدْ عُلِمَ مِنْ عَادَتِهِ أَنَّهُ مَتَى اشْتَغَلَ بِهِ فَاتَتْهُ الصَّلَاةُ م وَقَالَ الْبُلْقِينِيُّ وَلَا إشْكَالَ فِيهِ لِأَنَّ تَعْصِيَةَ الْغَافِلِ اللَّاهِي إذَا كَانَ بِسَبَبٍ أَدْخَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ بِاخْتِيَارِهِ وَقَدْ جَرَّبَهُ وَعَرَفَ أَنَّهُ تُوقِعُهُ فِي ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَأْثَمُ بِهِ
Mengingat orang yang telah meninggalkan sholat memiliki kewajiban untuk melakukan qodlo’ sholat atas sholat yang telah ia tinggalkan, lalu bagimana konsekuensi fiqh bagi orang yang tidur hingga meniggalkan sholat? Dalam hal ini, ar Romli menjelaskan dalam kitab nihayatul muhtaj ila syarh al-minhaj bahwa qodlo’ wajib dilakukan secara musara’ah atau segera jika meninggalkan sholat bukan sebab udzur syar’i, namun jika meninggalkan sholat sebab udzur syar’I maka menyegerakan untuk melakukan qodlo’ sholat hanya sebatas sunnah. Adapun ‘udzur syr’I yang sering dicontohkan dalam beberapa referensi kitab sebagaimana di Tuhfah adalah meninggalkan sholat sebab tidur atau lupa. Meskipun begitu, Syeikh Zainuddin Al-malibary tetap menggaris bawahi atas ‘udzur sebab tidur dan lupa dengan catatan bukan dilakukan secara ceroboh.
Referensi
نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج - (ج 3 / ص 273
وَيُبَادِرُ بِالْفَائِتِ ) اسْتِحْبَابًا مُسَارَعَةً لِبَرَاءَةِ ذِمَّتِهِ إنْ فَاتَ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ وَنِسْيَانٍ ، وَوُجُوبًا إنْ فَاتَ بِغَيْرِ عُذْرٍ تَعْجِيلًا لِبَرَاءَةِ الذِّمَّةِ لِخَبَرِ { مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا
Referensi
فتح المعين - (ج 1 / ص 31
ويبادر) من مر (بفائت) وجوبا، إن فات بلا عذر، فيلزمه القضاء فورا قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه، وأنه يحرم عليه التطوع، ويبادر به - ندبا - إن فات ر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك
Adapun yang dimaksud dengan tidur yang tidak ceroboh dijelaskan dalam syarah fath al mu’in, I’anah at- tholibin, adalah tidurnya orang yang dhon(berprasangka) tidak akan bangun atau syak (ragu) bisa bangun atau tidak. Jadi, jika ada orang yang tidur dan berprasangka tidak tidak akan bangun kemudia ia meninggalkan sholat maka orang tersebut wajib untuk bergegas melaksanakan sholat. Hal ini khusus untuk konteks orang yang tidur setelah masuk waktunya sholat. Namun, jika ia tidur sebelum waktunya sholat sebagaimana penjelasan sebelumnya meskipun ia dhon tidak bangun maka tidak ada kewajiban untuk bergegas melakukan qodho’ sholat karena termasuk meninggalkan sholat sebab ada ‘uzur.
Referensi
إعانة الطالبين - (ج 1 / ص 32
قوله: كنوم لم يتعد به) بخلاف ما إذا تعدى، بأن نام في الوقت وظن عدم الاستيقاظ، أو شك فيه، فلا يكون عذرا
Referensi
تحفة المحتاج في شرح المنهاج - (ج 4 / ص 370
قَوْلُهُ : وَبِهِ يَنْدَفِعُ إلَخْ ) أَيْ ، بَلْ يَلْزَمُهُ الْمُبَادَرَةُ فِي الصُّورَتَيْنِ ، وَظَاهِرُهُ : وَإِنْ كَانَ انْتِفَاءُ الْبَقَاءِ بِعُذْرٍ لَكِنْ يَنْبَغِي أَنَّ مَحَلَّهُ فِي الثَّانِيَةِ إذَا تَعَمَّدَ التَّأْخِيرَ فَإِنْ كَانَ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ قَبْلَ الْوَقْتِ إلَى أَنْ يَبْقَى مِنْهُ دُونَ رَكْعَةٍ فَيَنْبَغِي عَدَمُ وُجُوبِ الْمُبَادَرَةِ
Kesimpulan:
Dari penjelasan diatas, hukum orang yang tidur atau naim sebelum melakukan sholat dibedakan menjadi dua. Pertama, jika naim tidur setelah waktu sholat maka hukumnya ditafsil. Jika ia ada dhon untuk bangun sebelum habis masa waktu sholat dan menyisakan waktu untuk bersuci dan sholat maka hukumnya makruh dan ia tidak wajib (sunnah) untuk bergegas melakukan qodlo jika ia meninggalkan sholat. Namun jika naim tidak memiliki dhon untuk bangun atau ragu apakah bisa bangun atau tidak maka hukum tidur tersebut menjadi haram dan ia wajib untuk bergegas melakukan qodlo’ jika ia meningggalkan sholat. Kedua, tidurnya naim (orang yang tidur) sebelum masuk waktunya sholat juga ditafsil. Jika ia tidur sebelum waktunya sholat dan ada dhon untuk bangun sebelum habis waktunya sholat maka ia tidak berdosa dan tidak wajib untuk bergegas melakukan qodlo ketika ia meninggalkan sholat. Namun, jika ia ada dhon untuk tidak bangun dan akan menghabiskan waktu sholat maka masih ada khilaf diantara para ulama. Menurut Imam as-subki hokum tidak haram dan tidak mendapatkanb dosa. Alasannya karena orang yang tidur sebelum waktu sholat tidak termasuk khithob orang yang wajib melakukan sholat karena saat ia dalam keadaan tidur. Selain itu, juga tidak ada kewajiban baginya (sunnah) untuk bergegas melakukan qodlo’ ketika ia meninggalkan sholat. Namun, menurut Imam Ibnu as-sholah, orang yang tidur sebelum waktunya sholat dan ia mengetahui akan menghabiskan waktu sholat hukumnya adalah haram. Hal ini disebebkan karena hal ini akan menjadi adat atau kebiasaan sehingga ia sengaja untuk meninggalakan sholat sebab tidurnya. Jika menganut pendapat ini, maka ia wajib untuk bergegas melakukan qodlo karena tidur sebab kecerobohan sehingga bukan termasuk uzur syar’i
Tidur merupakan sebagian aktifitas kemanusiaan alamiah yang tidak bisa dihindari. Meskipun begitu, tidur bukan berarti lepas dari jangkauan hukum syariat islam. Dalam beberapa keadaan tertentu tidur yang asal hukumnya adalah jawaz (boleh untuk dilakukan atau ditinggalkan) bisa menjadi haram. Tentu hal ini sangat erat kaitannya dengan ibadah mahdloh sebagaimana tidurnya orang yang mengabiskan waktu sholat dengan ceroboh ataupun memang disengaja untuk meninggalkan sholat.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika sebagian besar masyarakat islam pernah melakukan qodlo’ sholat sebab tidur. Sering kali orang tidur terlelap hingga menghabiskan waktu sholat sehingga harus melakukan qodlo’. Anehnya lagi, kebiasaan sholat qodlo’ bahkan sudah menjadi kebiasaan atau adat bagi sebagian masyakarat yang sulit untuk bangun. Mungkin ada juga yang sudah berusaha akan bangun seperti memasang alarm, namun tetap saja tidak bangun. Hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi kalangan pesantren untuk merumuskan hukum orang yang tidur hingga melampui batas waktu sholat. Oleh karena itu, tulisan ini akan mencoba mengulas secara sederhana hukum orang yang tidur hingga melampui batas waktu sholat serta konsekuensi hukum yang diterima oleh orang tersebut dari sudut pandang fiqh syafi’i.
Pembahasan
Hukum awal bagi seseorang yang tidur sebelum melakukan sholat adalah makruh. Hal ini berdasarkan penjelasan hadist nabi yang terdapat dalam kompilasi hadist shohih muslim. Bahwa nabi sesungguhnya mengakhirkan sholat ‘isya hingga sepertiga malam dan mememakruhkan tidur sebelum melakukan sholat ‘isya dan ngerumpi setelah sholat isya.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يؤخر العشاء إلى ثلث الليل ويكره النوم قبلها والحديث بعدها
Menanggapi hadist tersebut, sebagaimana dikutip dari kitab Syarah An-nawawi ‘Ala Muslim, para ulama berpendapat bahwa kemakruhan tidur sebelum melakukan sholat disebabkan karena ada kekhawatiran orang tersebut akan bertindak ceroboh sehingga menghilangkan waktu sholat atau waktu-waktu yang dianggap utama sebab waktunya habis untuk tidur. Selain itu, tidurnya orang yang belum sholat juga dapat mengakibatkan tasahul (mempermudah) didalam sholat sehingga ia lebih memilih tidur dan meninggalkan sholat. Dalam hadist tersebut tidur justru dianjurkan setelah melakukan sholat ‘isya. Bahkan tidak tidur setelah sholat ‘isya bisa makruh jika sampai tidak tidur semalaman (begadang) atau sahar. Karena sahar (begadang) dimalam hari menyebabkan malas untuk beraktifitas pada esok harinya. Meskipun begitu, ulama menggaris bawahi kemakruhan ngerumpi (hadast ) setelah sholat ‘isya’ itu khusus yang dibicarakan hal-hal yang bukan membawa kemaslahatan. Jika jika ngerumpi yang sifatnya membawa kemaslahatan hukumnya boleh tidak makruh seperti kegiatan belajar mengajar dan hal-hal positif lainnya.
Referensi
شرح النووي على مسلم - (ج 2 / ص 442
قال العلماء : وسبب كراهة النوم قبلها أنه يعرضها لفوات وقتها باستغراق النوم ، أو لفوات وقتها المختار والأفضل ، ولئلا يتساهل الناس في ذلك فيناموا عن صلاتها جماعة ، وسبب كراهة الحديث بعدها أنه يؤدي إلى السهر ، ويخاف منه غلبة النوم عن قيام الليل ، أو الذكر فيه ، أو عن صلاة الصبح في وقتها الجائز ، أو في وقتها المختار أو الأفضل ، ولأن السهر في الليل سبب للكسل في النهار عما يتوجه من حقوق الدين والطاعات ومصالح الدنيا . قال العلماء : والمكروه من الحديث بعد العشاء هو ما كان في الأمور التي لا مصلحة فيها . أما ما فيه مصلحة وخير فلا كراهة فيه ، وذلك كمدارسة العلم ، وحكايات الصالحين ، ومحادثة الضيف والعروس للتأنيس ، ومحادثة الرجل أهله وأولاده للملاطفة والحاجة ، ومحادثة المسافرين بحفظ متاعهم أو أنفسهم ، والحديث في الإصلاح بين
الناس والشفاعة إليهم في خير ، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، والإرشاد إلى مصلحة ونحو ذلك ، فكل هذا لا كراهة فيه
Ulama syafi’iyyah dalam menafsirkan hadist diatas saling berbeda pendapat (khilaf) mengenai hukum makruh tidur sebelum sholat. Apakah hadist tersebut terkhusukan pada sholat isya’ sebagaimana teks hadist atau juga berlaku dalam sholat sholat lima waktu lainnya. Menurut al Qulyubi dan al Anshori dalam kitab Jamal kemakruhan tidur sebelum sholat juga berlaku untuk sholat-sholat ada’ yang lainnya. Sedangkan menurut as Syarbini dalam kitab Mughnil Muhtaj, kemahruhan tidur sebelum sholat hanya terkhususkan pada sholat ‘isya karena Nabi memakruhan tidur pada waktu itu.
Referensi
حاشيتا قليوبي - وعميرة - (2 / 82
تنبيه ) قد علم أن ما ذكر من كراهة النوم والحديث يجري في سائر الصلوات ، وإنما خصت العشاء بذكرهما لأنها محل النوم أصالة ، وإنما لم يكره الحديث قبل الفعل لأن الوقت باعث على تركه بطلب الفعل فيه
Referensi
مغني المحتاج - (1 / 124
و " يكره " النوم قبلها " أي صلاة العشاء بعد دخول وقتها لأنه صلى الله عليه و سلم كان يكره ذلك متفق عليه
Hukum makruh sebagaimana yang dijelaskan diatas, yaitu tidurnya naim sebelum sholat, menurut syeikh Zainuddin al Malibari dalam kitab Fath al Mu’in tetap dihukumi makruh selama naim memiliki dhon (prasangka) akan bangun sebelum habis masa waktu sholat sehingga masih ada waktu untuk melakukan thoharoh (bersuci) dan sholat. Namun jika naim tidak memiliki dhon untuk bangun, maka hukumnya menjadi haram. Dhon tersebut bisa jadi karena sudah menjadi adat atau kebiasaan naim untuk bangun ataupun ada orang yang akan membangunkan. Konteks ini ketika naim tidur saat memasuki waktu sholat. Namun, jika naim tersebut tidak ada dhon atau ragu apakah dia bisa bangun atau tidak, maka jika ia memaksakan untuk tidur sebelum sholat hukumnya menjadi haram. Dengan demikian, hukum makruh bagi orang yang tidur setelah masuk waktunya sholat hanya terkhusukan pada orang yang memiliki dhon untuk bangun sebelum habis waktu sholat.
Referensi
فتح المعين - (ج 1 / ص 142
فرع) يكره النوم بعد دخول وقت الصلاة وقبل فعلها، حيث ظن الاستيقاظ قبل ضيقه، لعادة أو لايقاظ غيره له، وإلا حرم النوم الذي لم يغلب في الوقت
Lain halnya jika tidurnya naim tersebut sebelum memasuki waktu sholat. Jika naim tidur sebelum waktu sholat meskipun ia tidak ada dhon untuk bangun dan mengabiskan waktu sholat, menurut zakaria al anshori dalam kitab Jamal hukumnya tidak haram. Hal ini disebabkan karena tidurnya naim yang belum memasuki waktu sholat menjadikan ia tidak dikenakan kewajiban sholat tersebut. Ambil saja contoh naim tidur pada waktu sholat ‘isya’ dan tidak bangun hingga habis waktu subuh. Maka hukum tidurnya naim tidak haram maupun makruh.
Referensi
حاشية الجمل - (ج 3 / ص 1
وقوله : فإن نام قبل دخول الوقت لم يحرم إلخ هو شامل للعشاء فلا يكره النوم قبل دخول وقتها وشامل للجمعة أيضا فلا يكره النوم قبله ، وإن خاف فوت الجمعة ؛ لأنه ليس مخاطبا بها قبل دخول الوقت
Bahkan dalam kitab hawasyi syarwani orang yang tidur (naim) sebelum masuk waktunya sholat baginya sama sekali tidak berdosa meskipun ia yakin bahwa tidurnya itu mampu mengahabiskan waktu sholat sehingga ia harus melakukan sholat qodlo’ bahkan sholat jum’at sekalipun. Adapun konsekuensi dari qodlo’ yang disebakan karena tidur sebelum masuk waktu sholat idak wajib fauran atau menyegerakan melakukan sholat qodlo’. Dalam hal ini akan dijelaskan secara khusus konsekuensi yang harus dilakukan oleh naim sebab meninggalkan sholat pada waktunya sehingga harus melakukan sholatb qodlo’.
Referensi
حواشي الشرواني/ج2/ص407
على غير مكلف) أي كصبي ومجنون ومغمى عليه والسكران غير المتعدي أما المتعدي فتجب عليه صلاتها ظهرا وكذلك النائم ثم إن نام قبل دخول الوقت فلا إثم عليه وإن علم أنه يستغرق الوقت ولو جمعة على الصحيح ولا يلزمه القضاء فورا
Pendapat diatas juga didukukung oleh imam As-subki dalam fatwanya yang dikutib oleh al Anshori dalam kitab Asnal Matholib bahwa tidak ada hokum haram bagi orang yang sekalipun ia dlhon akan menghabiskan waktu sholat ketika ia tidur sebelum masuk waktunyanya sholat dan tidak ada dosa sama sekali baginya. Namun putranya (As-subki) Imam Tajuddin berpendapat bahwa dalam masalah ini sebenarya ada beberapa pandangan atau qoul meskipun pandangan yang dikutip oleh As-subki adalah qoul yang mengatakan tidak haram.
Referensi
أسنى المطالب/ج2/ص193
قَوْلُهُ وَقِيَاسُ مَا مَرَّ عَنْ ابْنِ الصَّلَاحِ وَغَيْرِهِ أَنَّ الشَّكَّ كَالظَّنِّ ) أَشَارَ إلَى تَصْحِيحِهِ ( قَوْلُهُ لَا تَصِيرُ فِي بَاقِيهِ قَضَاءً إلَخْ ) مِثْلُهُ مَا لَوْ أَفْسَدَهَا ثُمَّ فَعَلَهَا فِيهِ عَلَى الْأَصَحِّ ( قَوْلُهُ ثُمَّ نَامَ مَعَ ظَنِّهِ فَوْتَهَا إلَخْ ) فَإِنْ ظَنَّ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ أَنَّهُ إنْ نَامَ اسْتَغْرَقَهُ فَلَا يَحْرُمُ كَمَا أَفْتَى بِهِ السُّبْكِيُّ قَالَ وَلَدُهُ تَاجُ الدِّينِ وَفِيهِ نَظَرٌ الْمَنْقُولُ أَنَّهُ لَا يَحْرُم
Masih dari kitab yang sama (Asnal Matholib), sebagaimana yang diungkapkan oleh Tajuddin menganai khilafiah orang yang tidur sebelum waktu sholat dan ia yakin akan mengabiskan waktu sholat, menurut qoul yang dikutib dari Asnawi, hal itu hukumnya adalah haram sebagaimana yang difatwatkan oleh Imam Ibnu Sholah. Karena jika orang yang tidur sebelum waktu sholat dan ia yakin akan menghabiskan waktu sholat dilakukan berkali-kali maka akan menjadi ‘adat atau kebiasaan sehingga sudah diketahui sebelumnya bahwa ia akan tidak sholat. Qoul ibnu sholah atas keharaman hal itu juga diperkuat oleh Imam Al-Bulqini bahwa keharaman tersebut sudah tidak dipermasalahkan lagi karena orang lalai yang ceroboh karena perbuatannya sendiri dan ia menyadari akan kecerobohan itu, jika ia tetap melakukan hal itu (tidur) maka dia tetap berdosa.
Referensi
أسنى المطالب/ج22/ص412
قَوْلُهُ نَقَلَهُ الْإِسْنَوِيُّ ) وَهُوَ شَبِيهٌ بِمَا إذَا نَامَ قَبْلَ الْوَقْتِ وَكَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ إذَا نَامَ قَبْلَ الْوَقْتِ وَكَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ إذَا نَامَ اسْتَغْرَقَ الْوَقْتَ بِالنَّوْمِ وَأَخْرَجَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا وَقَدْ أَفْتَى ابْنُ الصَّلَاحِ بِأَنَّ ذَلِكَ حَرَامٌ وَجْهُ الْمُشَابَهَةِ أَنَّهُ إذَا تَكَرَّرَ ذَلِكَ مِنْهُ صَارَ عَادَةً لَهُ وَقَدْ عُلِمَ مِنْ عَادَتِهِ أَنَّهُ مَتَى اشْتَغَلَ بِهِ فَاتَتْهُ الصَّلَاةُ م وَقَالَ الْبُلْقِينِيُّ وَلَا إشْكَالَ فِيهِ لِأَنَّ تَعْصِيَةَ الْغَافِلِ اللَّاهِي إذَا كَانَ بِسَبَبٍ أَدْخَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ بِاخْتِيَارِهِ وَقَدْ جَرَّبَهُ وَعَرَفَ أَنَّهُ تُوقِعُهُ فِي ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَأْثَمُ بِهِ
Mengingat orang yang telah meninggalkan sholat memiliki kewajiban untuk melakukan qodlo’ sholat atas sholat yang telah ia tinggalkan, lalu bagimana konsekuensi fiqh bagi orang yang tidur hingga meniggalkan sholat? Dalam hal ini, ar Romli menjelaskan dalam kitab nihayatul muhtaj ila syarh al-minhaj bahwa qodlo’ wajib dilakukan secara musara’ah atau segera jika meninggalkan sholat bukan sebab udzur syar’i, namun jika meninggalkan sholat sebab udzur syar’I maka menyegerakan untuk melakukan qodlo’ sholat hanya sebatas sunnah. Adapun ‘udzur syr’I yang sering dicontohkan dalam beberapa referensi kitab sebagaimana di Tuhfah adalah meninggalkan sholat sebab tidur atau lupa. Meskipun begitu, Syeikh Zainuddin Al-malibary tetap menggaris bawahi atas ‘udzur sebab tidur dan lupa dengan catatan bukan dilakukan secara ceroboh.
Referensi
نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج - (ج 3 / ص 273
وَيُبَادِرُ بِالْفَائِتِ ) اسْتِحْبَابًا مُسَارَعَةً لِبَرَاءَةِ ذِمَّتِهِ إنْ فَاتَ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ وَنِسْيَانٍ ، وَوُجُوبًا إنْ فَاتَ بِغَيْرِ عُذْرٍ تَعْجِيلًا لِبَرَاءَةِ الذِّمَّةِ لِخَبَرِ { مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا
Referensi
فتح المعين - (ج 1 / ص 31
ويبادر) من مر (بفائت) وجوبا، إن فات بلا عذر، فيلزمه القضاء فورا قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه، وأنه يحرم عليه التطوع، ويبادر به - ندبا - إن فات ر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك
Adapun yang dimaksud dengan tidur yang tidak ceroboh dijelaskan dalam syarah fath al mu’in, I’anah at- tholibin, adalah tidurnya orang yang dhon(berprasangka) tidak akan bangun atau syak (ragu) bisa bangun atau tidak. Jadi, jika ada orang yang tidur dan berprasangka tidak tidak akan bangun kemudia ia meninggalkan sholat maka orang tersebut wajib untuk bergegas melaksanakan sholat. Hal ini khusus untuk konteks orang yang tidur setelah masuk waktunya sholat. Namun, jika ia tidur sebelum waktunya sholat sebagaimana penjelasan sebelumnya meskipun ia dhon tidak bangun maka tidak ada kewajiban untuk bergegas melakukan qodho’ sholat karena termasuk meninggalkan sholat sebab ada ‘uzur.
Referensi
إعانة الطالبين - (ج 1 / ص 32
قوله: كنوم لم يتعد به) بخلاف ما إذا تعدى، بأن نام في الوقت وظن عدم الاستيقاظ، أو شك فيه، فلا يكون عذرا
Referensi
تحفة المحتاج في شرح المنهاج - (ج 4 / ص 370
قَوْلُهُ : وَبِهِ يَنْدَفِعُ إلَخْ ) أَيْ ، بَلْ يَلْزَمُهُ الْمُبَادَرَةُ فِي الصُّورَتَيْنِ ، وَظَاهِرُهُ : وَإِنْ كَانَ انْتِفَاءُ الْبَقَاءِ بِعُذْرٍ لَكِنْ يَنْبَغِي أَنَّ مَحَلَّهُ فِي الثَّانِيَةِ إذَا تَعَمَّدَ التَّأْخِيرَ فَإِنْ كَانَ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ قَبْلَ الْوَقْتِ إلَى أَنْ يَبْقَى مِنْهُ دُونَ رَكْعَةٍ فَيَنْبَغِي عَدَمُ وُجُوبِ الْمُبَادَرَةِ
Kesimpulan:
Dari penjelasan diatas, hukum orang yang tidur atau naim sebelum melakukan sholat dibedakan menjadi dua. Pertama, jika naim tidur setelah waktu sholat maka hukumnya ditafsil. Jika ia ada dhon untuk bangun sebelum habis masa waktu sholat dan menyisakan waktu untuk bersuci dan sholat maka hukumnya makruh dan ia tidak wajib (sunnah) untuk bergegas melakukan qodlo jika ia meninggalkan sholat. Namun jika naim tidak memiliki dhon untuk bangun atau ragu apakah bisa bangun atau tidak maka hukum tidur tersebut menjadi haram dan ia wajib untuk bergegas melakukan qodlo’ jika ia meningggalkan sholat. Kedua, tidurnya naim (orang yang tidur) sebelum masuk waktunya sholat juga ditafsil. Jika ia tidur sebelum waktunya sholat dan ada dhon untuk bangun sebelum habis waktunya sholat maka ia tidak berdosa dan tidak wajib untuk bergegas melakukan qodlo ketika ia meninggalkan sholat. Namun, jika ia ada dhon untuk tidak bangun dan akan menghabiskan waktu sholat maka masih ada khilaf diantara para ulama. Menurut Imam as-subki hokum tidak haram dan tidak mendapatkanb dosa. Alasannya karena orang yang tidur sebelum waktu sholat tidak termasuk khithob orang yang wajib melakukan sholat karena saat ia dalam keadaan tidur. Selain itu, juga tidak ada kewajiban baginya (sunnah) untuk bergegas melakukan qodlo’ ketika ia meninggalkan sholat. Namun, menurut Imam Ibnu as-sholah, orang yang tidur sebelum waktunya sholat dan ia mengetahui akan menghabiskan waktu sholat hukumnya adalah haram. Hal ini disebebkan karena hal ini akan menjadi adat atau kebiasaan sehingga ia sengaja untuk meninggalakan sholat sebab tidurnya. Jika menganut pendapat ini, maka ia wajib untuk bergegas melakukan qodlo karena tidur sebab kecerobohan sehingga bukan termasuk uzur syar’i
alhamdulillah bini'matillah tatimmussholihat syukron bi'ulumik,,,, raja'tu an istamirra diraasaty fi arab
BalasHapusbagus ulasannya sesuai dengan yg saya6cari
BalasHapus